Pertempuran

“Pada zaman dahulu kala, di tanah yang sangat jauh hiduplah seorang pejuang. Ia belajar pedang seumur hidupnya, untuk menjadi pendekar pedang terkuat. Dan baru saja ia mencapai tujuannya. Tapi, kehampaan ia peroleh sejenak setelah ayunan pedang terakhirnya menabas pemimpin klan musuh.”

Begitulah narasi awal film The Warior’s Way yang  semalam saya tonton. Menceritakan dua klan yang telah bertarung selama ratusan tahun (tidak disebutkan secara jelas nama dan zamannya). Tapi, tatkala sang pejuang berhadapan dengan musuh terakhirnya-seorang bayi dalam buaian-tandas segala naluri membunuhnya karena seringai tawa bayi tersebut. Dari sini, awal cerita perjalanan baru sang pejuang dimulai. Memperjuangkan sesuatu yang ia yakini berarti dalam hidup.

Dualisme

Dunia adalah konflik. Antara baik dan buruk, terang dan gelap hingga yin dan yang dalam kepercayaan China-seperti tergambar pada film diatas. Kepercayaan ini telah nyata menjelma dalam catatan sejarah umat manusia. Baik dalam interaksi sosial-masyarakat hingga mitologi-ketuhanan. Jadilah hubungan manusia dan dunia dipandang dalam paradigma pertentangan semata.

Tentu saja paradigma diatas tiada relevan lagi untuk massa sekarang. Meskipun pada kenyataannya potret riil masyarakat senantiasa berkontestasi dan terjadi pertentangan. Hanya barangkali terdapat banyak pergeseran pandangan atas paradigma dualisme dewasa ini.

Paradigma dualisme mulai direduksi dengan nilai-nilai baru ciptaan manusia. Peradaban modern tidak memandang kondisi masyarakat dalam kacamata hitam putih. Humanisme hingga pluralisme telah mempengaruhi pandangan atas masyarakat dan dunia, bahwa perbedaan tidak melulu pertentangan dan konflik.

Tetapi dalam beberapa hal terkadang konflik tak bisa dihindari. Terlebih lagi bila menyangkut keberlangsungan hidup  sebagai manusia. Seorang petani takkan merelakan tanah dan ladangnya diambil begitu saja oleh orang lain. Segala cara akan dilakukan untuk mempertahankannya, biarpun nyawa menjadi taruhan, konflik Mesuji contohnya.

Buruh akan selalu unjuk rasa menuntut kenaikan upah layak, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Meski dalam setiap aksinya ia harus berhadapan dengan barisan keamanan negara dan pabriknya. Tentu saja, karena hal ini menyangkut keberlangsungan hidup buruh dan keluarganya.

Apakah ini pertempuran yin dan yang? Yin sebagai baik dan yang buruk, ataupun sebaliknya. Terserah penilaian pembaca. Yang pasti, keadaan tidak sesederhana itu. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan. Keadaan tidaklah mengikut teori, sebaliknya ialah yang melahiran teori, begitu kira-kira.

Secuil contoh diatas saya rasa belum sepenuhnya menggambarkan keadaan terkini. Bila  mau lebih jauh mencari, seringkali ada hal-hal yang sepele dan remeh(tidak menyangkut eksistensi kehidupan) menimbulkan suatu pertentangan. Perebutan kedudukan politik dan paradigma sektarian misalnya.

Apakah hal tersebut menentukan eksistensi kehidupan? Saya rasa tak semua orang menjawab “ya”. Kecintaan berlebih terhadap ras dan golongan adalah semu bila tak memperbaiki kondisi kehidupan. Jabatan politik menjadi sumbang bila hanya digunakan untuk mengambil keuntungan personal-golongan. 

Karena sejauh saya tahu, politik adalah jalan atau cara untuk memujudkan kebaikan bersama. Kebaikan yang bukan sekedar hidup baik secara materi, tetapi lebih jauh, hidup yang beradab dan bermoral. Mewujudkan tatanan masyarakat yang juga menghargai perbedaan.

Dalam tataran inilah saya rasa pertempuran menjadi relevan dalam kehidupan. Memperjuangkan sesuatu yang bernilai dalam hidup. Begitu juga dalam Pemilwa kali ini. Semoga.

*Catatan atas Pemilwa 

Kotak Kelam

Aku mulai mahir membuat kotak rahasiaMemisah topeng-topengmenyimpan wajah sumbingKubuka duniatersadar kiranya, perubahan sungguhlah cepatKemunafikan telah sedia dimana-manaAda dalam agamasaku celanadepan kelasatas mimbarSepenjuru tempat telah sediaempat mata angin jugaBahkan nonstop,Twenty four hours.

 

Kita telah punya dunia baruSetelah keusangan  yang mulai layuBuat apa sedih? Menyesali keadaan yang kita adakan? Kiranya tak makna pahalaIngat saja, besok pula kau dapatimengulang dan menikmati.

 

Untung saja telah kusedia kotak rahasiaOptimis ku selamanya setia membagi. Berkas kelamku biarlah tersimpanTerang kupajang paling depanSebenarnyamembayangkan hidup tanpa inipun sulitTerasa menabung harta karunsimpanan modal kehidupan.

 

Hingga ku teringat ,  kakekku pernah menasehat :

 

“ Dunia ini memang ladang menanam munafik le,

  Hidup perlu mentoleran kesalahan

  Kesalahan perlu kotak simpan

  Sebab manusia takkan mampu hidup apa adanya

 

Tak ada yang mau dipandang hina le,

Meskipun yang memandang lebih hina darinya

Manusia menghinakan  bukan saja  karna aib kesalahan

Tapi karena melihat bayangnya telah amat pantas dihinakan.”

Resah

”Kalau bisa, akan saya bangkitkan kembali hantu pak Harto.” Tak sengaja saya mendengar obrolan  penjual dengan istrinya, kala membeli rokok eceran di sebuah kios kecil tepi jalan. Dari lanjutan pembicaraan, lalu saya faham ihwal yang diobrolkan adalah rencana kenaikan harga BBM yang sedang gencar menjadi bahasan semua kalangan.

Beberapa bulan terakhir memang marak wacana pembangkitan sosok presiden kedua republik ini, Soeharto. Hingga mudah kita temu beragam poster dan pamflet gambarnya tersebar di berbagai sudut kota dan dunia maya.”Piye kabare le?, penak jamanku to?” begitu bunyi tulisannya, dengan background presiden terlama Indonesia  itu melambaikan tangan.

Dari sini saya menangkap “sebentuk” keresahan masyarakat bawah atas keadaan tak menentu seperti sekarang. Keruwetan dalam pengelolaan Negara dan perdebatan terkait kenaikan BBM sungguh melelahkan masyarakat yang menyimak, pun tak kunjung diputuskan. Masyarakat menunggu dalam ketidak-pastian, sementara wakilnya (DPR dan elit politik) seoalah sibuk dalam perdebatan yang “awam” tak faham pangkal-ujungnya.

Tak dapat dipungkiri, tatkala keresahan telah memuncak, manusia akan mencari sandaran. Melihat watak dasar sebagian masyarakat kita yang primordial, peredam keresahan yang paling dekat dan mudah adalah mistisme. Tempat orang awam bisa menumpahkan keluh kesahnya dengan “merdeka” dan tanpa ditagih konsekuensi kerja.

Dalam khasanah jawa ada istilah “Ratu Adil”, sosok yang dirindukan untuk memimpin masyarakat Nusantara kepada kemaslakhatan dan keadilan. Keluar dari kemelaratan, lolos dari zaman “edan”, zaman dimana kalau “ora edan, ora keduman.” Dan yang dianggap Ratu Adil-tebakan saya-adalah wujud pemimpin seperti alm Soeharto, sosok yang pernah membawa ketentraman dan kestabilan dibawah pemerintahan absolutnya.

Kritik agama Feuerbach-seorang filsuf ateis Jerman abad XVIII-memperoleh relevansinya disini. Kritik diarahkan pada agama yang menurutnya hanya sebuah proyeksi diri manusia, cerminan harapan dan keinginan kesempurnaan mahluk bernama manusia. Tapi bukannya mengusahakan kesempurnaan melalui kerja nyata, kaum beragama malah menyembah dan mempersonifikasikannya dalam bentuk Tuhan, sosok adiluhung, sosok diatas manusia yang punya kuasa tak terbatas. Bedanya, kritik Fuerbach mengacu pada Tuhan, sedang dalam konteks ini masyarakat mengacu pada hantu ghaib yang bernama Soeharto, dengan harapan ia hadir dan memperbaiki keadaan.

Disisi lain persaingan adalah satu hal yang tak dapat dihindarkan dalam perdagangan. Akan selalu ada persaingan, itulah hukum yang diundangkan bapak ekonomi dunia, Adam Smith. Tak luput juga si pemilik kios ini.

Sekilas, terlihat kaca etalase kios tersebut mengusam, beberapa bungkus roti dan snack tampak berdebu. Pertanda sirkulasi barang dagangannya seret, minim pembeli. Meski kalau diperhitungkan  sebenarnaya letak kios cukup strategis, pinggir jalan ramai, kiri-kanan Rumah Makan, ditambah daerah banyak kos-kosan mahasiswa disekitar. Tempat yang strategis berjualan barang eceran kebutuhan harian.

Tapi tampaknya bukan ia saja yang melihat kesempatana ini. Sujurus jalan sekitar 30 meter kemudian, berdiri sebuah Indomart, bersih dan terang, lebih lengkap menyediakan kebutuhan. Dalam jarak yang sama disebelah kanan berdiri Alfamart, dengan kondisi tak jauh beda dari pesaing pertama.

Kiosnya sepi, ditengah lalu-lalang orang yang seharusnya bisa mampir barang sebentar. Tapi, seolah tangan-tangan ghaib pun telah menuntun mereka pada pintu yang lebih terang, sekalipun mahal. Menguras seisi rak yang sedia 24 jam.

Akhirnya, Sebatang rokok saya nyalakan. Sambil menerka-nerka apa yang mereka fikirkan ketika penghasilannya berkurang, sedang harga barang dagangan melonjak seiring naiknya bahan bakar.